Sabtu, 06 Oktober 2007
Seni Dan Digital
Seni dan Digital
Dunia harus melalui masa waktu kurang lebih satu dekade untuk bisa memahami dentuman masif komputer grafis yang dicetuskan oleh Ivan Sutherland pada 1963 di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Lewat tesis doktoralnya ia memproklamirkan penemuannya yang disebut Sketchpad, sebuah sistem komputer yang difungsikan untuk mengambar garis secara langsung dengan layar komputer melalui pena cahaya. Pada masa itu ketika tetikus (mouse) belum ditemukan, untuk berinteraksi dengan komputer dalam menjalankan perintah-perintah, manusia menggunakan pena yang digerakkan-gerakkan di layar komputer. Dan itu dimaksudkan untuk menciptakan interaksi yang direpresentasikan secara grafis.
Fokus Sutherland pada masa itu adalah bagaimana mendayakan kemampuan komputer sedemikian rupa, sehingga pada tataran konsep bisa menghasilkan kemiripan visual. Seperti misalnya bagaimana foto realistik bisa dibuat menjadi citra komputer. Sutherland memutar otak bagaimana komputer bisa mengolah rangkaian-rangkaian bit yang menghasilkan citra grafis komputer, bisa meniru dunia nyata sebagaimana adanya. Ia pun berkutat pada persoalan-persoalan efek bayangan (shadow), pantulan (reflection), pembiasan (refraction) dan permukaan-permukaan tertutup.
Pada masa itu untuk menghasilkan antarmuka (interface) grafis pada layar komputer, Sutherland masih menggunakan konsep garis (vektor) yang tampilannya masih sederhana (kasar). Namun, penemuan itulah yang menjadi cikal bakal teknologi komputer grafis saat ini yang sangat masif digunakan dalam berbagai aplikasi. Kekurangan itu jugalah yang memberikan ilham bagi banyak orang bahwa penggunaan konsep rangkaian titik-titik (pixel) dalam komputer grafis justru lebih baik dibandingkan dengan menggunakan konsep garis.
Nicholas Negroponte dalam bukunya yang tersohor, Being Digital (1998) bahwa Sketchpad memperkenalkan beberapa konsep baru, di antaranya grafik dinamik, simulasi visual, resolusi kendala, pen tracking, dan sistem koordinat yang tak terbatas.
Kemampuan komputer grafis kini pun semakin tidak terbendung. Konvergensi antara teknologi komputer, telekomunikasi, elektronika, media massa, dengan budaya dan seni (baca: film dan dunia hiburan) membuat komputer grafis “haram” hukumnya jika dipandang sebelah mata.
Anda boleh menilai interpretasi ini sangat ekstrem. Tetapi melihat kondisi kontemporer, kemampuan komputer grafis masif digunakan dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang percetakan (desain grafis), penyiaran televisi, CD ROM interaktif (multimedia), dalam pembuatan rancang-bangun gedung (arsitektur). Kemudian bidang bisnis, di mana pengusaha merasa perlu memberi sentuhan desain grafis untuk situs perusahaannya. Juga pada bidang yang sama memberikan kesan ruang tiga dimensi dalam situsnya, sehingga calon konsumen merasa sedang membeli di dalam sebuah toko.
Di bidang hiburan, semacam film dan permainan tiga dimensi (3D), kemampuan komputer grafis dikerahkan agar terlihat realistik. Bidang lainnya adalah ilmu pengetahuan. Kini dengan kemampuan komputer grafis 3D, “Anda bisa membuat Anatomi tubuh 3D yang dapat diputar-diputar, membuat struktur molekul, tata surya planet-planet dan sebagainya.” (Adi Kurniadi, 1999:9). Dan terakhir adalah bidang seni, dengan menggunakan perangkat lunak komputer grafis tertentu, semisal Adobe Photoshop, Anda bisa membuat hasil karya lukis (termasuk memanipulasi foto). Dan perangkat lunak 3D Studio Max menghasilkan karya seni realistik secara 3D.
Tetapi bidang yang paling menonjol dan populer adalah dalam bidang penyiaran televisi, desain grafis media cetak, pembuatan fim dengan efek visual khusus, serta film animasi 3D. Suksesnya film animasi 3D The Toys Story, Finding Nemo, Shark Tale, permainan video Tomb Raider barangkali bisa dijadikan sebagai salah satu parameter kemampuan komputer grafis itu.
Di saat produk budaya itu dikonsumsi oleh pasar, saat itu juga orang-orang muda mulai bermimpi bisa membuat sendiri film animasi seperti itu, berdasarkan gagasannya sendiri. Tentu ini didahului oleh kekaguman (yang tiada henti) mereka pada kemampuan komputer yang bisa “menghidupkan” benda mati (proses animasi) yang memiliki lebar, tinggi, kedalaman, efek cahaya, dan bayangan dan gerakan ke layar penampil. Proses animasi pada citra grafis 3D disebut juga proses penciptaan dimensi ke-4.
Kini kita tinggal di dunia komputer grafis, dunia yang mensimulasikan tata surya; matahari, planet, bintang-bintang; efek panorama sunset, tebing-tebing curam, pegunungan, ombak laut, meniru wajah tokoh terkenal, membuat replika planet Mars dan lain sebagainya. Jadilah sekarang perangkat lunak grafis semacam 3D Studio Max, Photoshop, Corel PhotoPaint, Corel Bryce, Maya, Rhino, Poser dan Lightscape menjadi senjata handalan yang “sakti mandraguna”. Konsumsinya dalam bentuk CD perangkat lunak dan buku-buku menjadi indikator penting. Belum lagi banyak sekali ulasan kemampuannya bermunculan di majalah dan tabloid teknologi informasi, berikut hasil karya, serta tip dan triknya. Ini juga menjadi penanda penting tumbuhnya apresiasi masyarakat terhadap komputer grafis, seni digital dan keinginan untuk berkomunikasi secara visual.
Kemampuan komputer yang bisa merepresentasikan dunia nyata manusia sama seperti aslinya, memberikan kesempatan pada kita menciptakan dunia kita sendiri yang kita anggap memang nyata adanya. Sungguh, ini adalah momen di mana manusia bisa mewujudkan mimpi-mimpi dan imajinasinya yang terdalam secara nyata.
Sedikit menyentuh pada istilah yang dipopulerkan oleh Jean Paul Baudrillard mengenai hiperrealitas, kemampuan komputer grafis sebagai simulator dapat dijelaskan dengan konsep ini. Hiperrealitas adalah konsep untuk menjelaskan fenomena sosial di mana manusia menganggap segala sesuatu yang dialaminya adalah sebuah kebenaran absolut. Padahal hal itu sebenarnya adalah kebenaran semu (bukan objek) yang dibuat melalui simulasi simbol-simbol, kode-kode yang dicitrakan sedemikian dari sebuah objek yang benar. Ini senada dengan pernyataan Kenneth E. Boulding (2003) dalam William L. Rivers dan Jay W. Jensen: Kompleksitas imajinasia manusia itu terbatas. Jika kompleksitasnya terlalu tinggi, maka yang muncul adalah citra-citra simbolik.
Jadi, ketika kita menonton film Hollywood mengenai bencana alam tornado, kita merasa kejadian itu benar-benar ada, lebih “tornado” daripada “tornado” yang sebenarnya! Inilah salah satu contoh adalah efek media massa seperti film dengan efek visual khusus berbantuankan komputer grafis yang mensimulasikan alam yang nyata, hingga kita sangat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang imajinasi. Sebab keduanya sudah menyatu dalam materi solid yang kita sebut sebagai gagasan seni, hiburan, media ekspresi, dan bisnis. Inilah hiperrealitas itu!
Sama halnya lagi ketika kita menonton adegan awak kapal laut yang panik ketika menemui badai di tengah laut. Sebagian dari kita pasti sangat percaya kalau itu memang benar-benar terjadi di tengah laut (di dunia nyata). Tetapi, sesungguhnya film itu dibangun dari banyak kombinasi, seperti seni peran aktor dan aktris (“seni berpura-pura menjadi orang lain”); trik kamera; efek visual berbantuankan komputer untuk membuat ombak, kabut; dan efek suara (sound effects).
Maka di sisi yang satu ini efek visual dengan bantuan komputer grafis, sesungguhnya memainkan peran mensimulasikan sebuah peristiwa yang sesungguhnya tidak terjadi. Bahkan ada ada pengamat yang mengatakan bahwa efek visual yang ditambahkan dalam sebuah film, sesungguhnya seorang pemeran (aktor/aktris yang handal).
Ini juga sekaligus memberikan gambaran bagi kita bahwa efek lain yang terbentuk dari kemajuan komputer grafis adalah perannya menciptakan media baru bagi seni (khususnya seni visual). Ini juga sekaligus menggeser batas-batas atas definisi seni itu sendiri. Inilah yang pernyataan Pfaffenberger dalam bukunya Computer in Your Future (2002): Computers assist artists in many ways for example, by making the tasks of creating art more convinient. But computers area also pishing the boundaries of art, forcing us to question just what art really is (halaman 271). The fine arts—including painting, drawing, illustration, and sculpture—are changing as artists increasingly see the computer as an artistic medium (halaman 277).
Dan seni pun kini mendapatkan momen revolusi-nya di mana dengan perpaduan konsep digital, seni menjadi lebih demokratis dan personal. The turn of the new century was a heady and revolutionary period in the development of Art that saw, through the introduction of digital tools, a great democratization in art making and began a period of time where in the cracks in the dam of the traditional Fine Arts world began to show
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar